A. PENGERTIAN LIMFE
Sistem limfatik adalah suatu sistem sirkulasi sekunder yang
berfungsi mengalirkan limfa atau getah bening di dalam tubuh. Limfa (bukan limpa) berasal dari plasma darah yang keluar dari sistem
kardiovaskular ke dalam jaringan sekitarnya. Cairan ini kemudian
dikumpulkan oleh sistem limfa melalui proses difusi ke dalam kelenjar limfa dan
dikembalikan ke dalam sistem sirkulasi.
Sistem
limfatik adalah suatu sistem sirkulasi sekunder yang berfungsi mengalirkan
limfa atau getah bening di dalam tubuh. Limfa (bukan limpa) berasal dari plasma
darah.. yang keluar dari sistem kardiovaskular ke dalam jaringan sekitarnya.
Cairan ini kemudian dikumpulkan oleh sistem limfa melalui proses difusi ke
dalam kelenjar limfa dan dikembalikan ke dalam sistem sirkulasi Susunan
limfe : Mirip plasma, kadar protein lebih kecil, penambahan oleh kelenjar
limfe menjadikan kadar limfosit tinggi Komponen sistem yang lain : saluran
limfe dan kelenjar limfe (nodus limfe) Bersama organ limpa, hati dan sumsum
tulang membentuk Retikulo-Endotelial Sistem (RES)
B. SUSUNAN LIMFE
B. SUSUNAN LIMFE
Limfe mirip
dengan plasma tetapi dengan kadar protein yang lebih kecil. Kelenjar-kelenjar
limfe menambahkan limfosit pada limfe sehingga jumlah sel itu sangat besar di
dalam saluran limfe.
Di dalam limfe tidak terdapat sel lain. Limfe
dalam salurannya digerakkan oleh kontraksi otot di sekitarnya dan dalam
beberapa saluran limfe yang gerakannya besar itu dibantu oleh katup.
.
C. FUNGSI LIMFE
1.
Mengembalikan
cairan dan protein dari jaringan ke dalam sirkulasi darah.
2. Mengangkut limfosit dari kelenjar limfe ke sirkulasi darah.
3. Untuk membawa lemak yang sudah dibuat emulsi dari usus ke sirkulasi darah.
Saluran limfe yang melaksanakan fungsi ini ialah saluran lakteal.
4. Kelenjar limfe menyaring dan menghancurkan mikroorganisme untuk
menghindarkan penyebaran organism itu dari tempat masuknya ke dalam jaringan,
ke bagian lain tubuh.
5. Apabila ada infeksi, kelenjar limfe menghasilkan zat anti (antibodi) untuk
melindungi tubuh terhadap kelanjutan infeksi.
D. PEMBULUH LIMFE
Struktur
pembuluh limfe serupa dengan vena kecil, tetapi memiliki lebih banyak katup sehingga
pembuluh limfe tampaknya seperti rangkaian petasan. Pembuluh limfe yang
terkecil atau kapiler limfe lebih besar dari kapiler darah dan terdiri hanya
atas selapis endotelium. Pembuluh limfe bermula sebagai jalinan halus kapiler
yang sangat kecil atau sebagai rongga-rongga limfe di dalam jaringan berbagai
organ. Sejenis pembuluh limfe khusus, disebut lacteal (khilus) dijumpai dalam
vili usus kecil.
Pembuluh limfe agaknya dipertahankan dalam posisi
terbuka karena jaringan membengkak akibat sistem serabut jaringan ikattertambat
pada dinding pembuluh dinding limfe. Bagaimanapun juga, selama peradangan akut tidak hanya aliran limfe
yang bertambah, tetapi kandungan protein dan sel dari cairan limfe
juga bertambah dengan cara yang sama.Sebaliknya,
bertambahnya aliran bahan-bahan melalui pembuluh limfemenguntungkan karena cenderung mengurangi
pembengkakan jaringan yangmeradang
dengan mengosongkan sebagian dari eksudat. Sebaliknya, agen-agenyang dapat
menimbulkan cedera dapat dibawa oleh pembuluh limfe dari tempat peradangan
primer ke tempat yang jauh dalam tubuh. Dengan cara ini, misalnya,agen-agen yang menular dapat menyebar. Penyebaran
sering dibatasi oleh penyaringan yang dilakukan oleh kelenjar limfe
regional yang dilalui oleh cairanlimfe yang bergerak menuju ke dalam tubuh,
tetapi agen atau bahan yang terbawaoleh cairan limfe mungkin masih dapat
melewati kelenjar dan akhirnya mencapaialiran darah.Karena alasan ini, orang harus selalu waspada akan kemungkinanterserangnya
sistem limfatik pada peradangan oleh sebab apapun. Bila pembuluhlimfe terkena radang disebut limfangitis. Jika
kelenjar limfe terkena radang disebut limfadenitis. Limfadenitis
regional sering ditemukan menyertai peradangan.Satu contoh yang terkenal adalah
pembesaran kelenjar limfe servikal, yang nyeri,terlihat pada tonsilitis. Istilah yang lebih umum adalah limfadenopati
digunakanuntuk menggambarkan setiap kelainan kelenjar limfe. Dalam praktek,
istilah itutidak saja menyatakan adanya limfadenitis, tetapi pada setiap
pembesaran kelenjar limfe kebanyakan reaksi-reaksi kelenjar limfe disertai
oleh pembesaran
E. KELENJAR LIMFE ATAU
LIMFONODI
Limfonodi
berbentuk kecil lonjong atau seperti kacang dan terdapat di sepanjang pembuluh
limfe. Kerjanya sebagai penyaring dan dijumpai di tempat-tempat terbentuknya
limfosit. Kelompok-kelompok utama terdapat di dalam leher, axial, thorax,
abdomen, dan lipat paha.
Sebuah
kelenjar limfe mempunyai pinggiran cembung dan yang cekung. Pinggiran yang
cekung disebut hilum. Sebuah kelenjar terdiri dari jaringan fibrous, jaringan
otot, dan jaringan kelenjar. Di sebelah luar, jaringan limfe terbungkus oleh
kapsul fibrous. Dari sini keluar tajuk-tajuk dari jaringan otot dan fibrous,
yaitu trabekulae, masuk ke dalam kelenjar dan membentuk sekat-sekat. Ruangan
diantaranya berisi jaringan kelenjar, yang mengandung banyak sel darah putih
atau limfosit.
Pembuluh
limfe aferen menembus kapsul di pinggiran yang cembung dan menuangkan isinya ke
dalam kelenjar. Bahan ini bercampur dengan benda-benda kecil daripada limfe
yang banyak sekali terdapat di dalam kelenjar dan selanjutnya campuran ini
dikumpulkan pembuluh limfe eferen yang mengeluarkannya melalui hilum. Arteri
dan vena juga masuk dan keluar kelenjar melalui hilum.
E. SALURAN LIMFE
Terdapat dua
batang saluran limfe utama, ductus thoracicus dan batang saluran kanan. Ductus
thoracicus bermula sebagai reseptakulum khili atau sisterna khili di depan
vertebra lumbalis. Kemudian berjalan ke atas melalui abdomen dan thorax
menyimpang ke sebelah kiri kolumna vertebralis, kemudian bersatu dengan
vena-vena besar di sebelah bawah kiri leher dan menuangkan isinya ke dalam
vena-vena itu.
Ductus
thoracicus mengumpulkan limfe dari semua bagian tubuh, kecuali dari bagian yang
menyalurkan limfenya ke ductus limfe kanan (batang saluran kanan).
Ductus limfe
kanan ialah saluran yang jauh lebih kecil dan mengumpulkan limfe dari sebelah
kanan kepala dan leher, lengan kanan dan dada sebelah kanan, dan menuangkan
isinya ke dalam vena yang berada di sebelah bawah kanan leher.
Sewaktu
suatu infeksi pembuluh limfe dan kelenjar dapat meradang, yang tampak pada
pembengkakan kelenjar yang sakit atau lipat paha dalam hal sebuah jari tangan
atau jari kaki terkena infeksi.
F. SISTEM
SALURAN LIMFE
Sistem
saluran limfe berhubungan erat dengan sistem sirkulasi darah. Darah
meninggalkan jantung melalui arteri dan dikembalikan melalui vena. Sebagian
cairan yang meninggalkan sirkulasi dikembalikan melalui saluran limfe, yang
merembes dalam ruang-ruang jaringan.
Hampir
seluruh jaringan tubuh mempunyai saluran limfatik yang mengalirkan kelebihan
cairan secara langsung dari ruang interstisial. Beberapa pengecualian antara
lain bagian permukaan kulit, sistem saraf pusat, bagian dalam dari saraf
perifer, endomisium otot, dan tulang.
G. PENYAKIT GANAS
·
DISPENIA
Pasien
dengan penyakit jantung paru umumnya memiliki gejala dispnea. Dispnea
didefinisikan sebagai sensasi benapas yang tidak nyaman (an uncomfortable
sensation of breathing) atau sensasi bernapas yang tidak nyaman dan
disadari bahwa hal tersebut merupakan suatu kelainan (abnormally
uncomfortable awareness of breathing).
Anamnesis yang
lengkap sangat penting untuk memperoleh kepastian apakah pasien benar-benar
menderita dispnea. Apabila dispnea telah ditegakkan, maka sangat penting untuk
memperoleh data-data mengenai penyebab dispnea dan menilai gejala dan tanda
lain yang berhubungan dengan dispnea. Pada beberapa situasi, pasien
terkadang tampak kesulitan bernapas namun tidak mengeluhkan dispnea. Hal ini
tampak pada keadaan hiperventilasi akibat asidosis metabolik dimana jarang
ditemukan bersamaan dengan dispnea. Pada keadaan lain, pasien dengan pola napas
yang normal dapat mengeluhkan dispnea.
Ø Kuantitas Dispenia
Derajat
dispnea didasarkan atas seberapa besar kegiatan/aktivitas fisik yang dibutuhkan
untuk menimbulkan sensasi. Dalam menilai derajat dispnea, dibutuhkan data-data
mengenai kondisi fisik umum pasien, riwayat pekerjaan, dan kebiasaan pasien.
Sebagai contoh, dispnea yang terjadi pada seorang pelari terlatih yang berlari
sejauh 2 mi menunjukkan gangguan yang lebih serius dibandingkan dengan dispnea
pada seorang pejalan kaki yang berlari dengan jarak yang sama. Variasi
antarindividu dalam persepsi juga patut dipertimbangkan. Beberapa pasien dengan
penyakit berat mungkin hanya mengeluh dispnea ringan, sedangkan pada pasien
dengan penyakit ringan dapat mengeluhkan dispnea berat. 1
Beberapa pola dispnea
tidak berhubungan langsung dengan aktivitas fisik. Dispnea saat istirahat yang
terjadi tiba-tiba dapat berkaitan dengan emboli paru, pneumotoraks spontan,
hiperkapnia sekunder terhadap penahanan napas, atau keadaan cemas. Episode
nokturnal dispnea paroksismal berat merupakan karakteristik dari gagal jantung
ventrikel kiri. Dispnea saat posisi berbaring, atau orthopnea, walaupun
merupakan gejala utama gagal jantung kongestif namun dapat pula ditemukan pada
asma, obstruksi kronik saluran napas dan paralisis diafragma bilateral. Trepopnea
adalah dispnea yang terjadi hanya pada posisi lateral dekubitus, yang sering
pada pasien dengan penyakit jantung. Platypnea adalah dispnea yang
terjadi hanya pada posisi tegak. Hal yang mendasari yaitu bahwa perubahan
posisi berhubungan dengan ventilasi-perfusi. 1
American Thoracic
Society membuat skala yang dapat digunakan untuk menentukan derajat dispnea.
Tabel 1. American Thoracic Society Scale Dyspnea 2 of
DESCRIPTIONS
|
GRADE
|
DEGREE
|
Not troubled by
shortness of breath when hurrying on the level or walking up a slight hill
Troubled by
shortness of breath when hurrying on the level or walking up a slight hill
Walks more slowly
than people of the same age on the level because of breathlessness or has to
stop for breath when walking at own pace on the level
Stops for breath
after walking about 100 yards or after a few minutes on the level
Too breahtless to
leave the house; breathless on dressing or undressing
|
0
1
2
3
4
|
None
Mild
Moderate
Severe
Very severe
|
Ø Mekanisme Dispenia
Dispnea
dipicu oleh stimulus terhadap reseptor yang terdapat dalam saluran napas atas,
paru, otot-otot pernapasan, dinding dada, atau kombinasi dari reseptor-reseptor
tersebut. Dispnea ditandai oleh aktivasi pusat pernapasan yang abnormal atau
berlebihan dalam batang otak. Aktivasi ini berasal dari stimulus yang
ditransmisikan dari atau melalui : 1,3
- reseptor intratoraks melalui nervus vagus
- saraf somatic aferen, terutama dari otot
pernapasan dan dinding dada, selain itu juga dari otot rangka dan sendi
lain
- kemoreseptor di dalam otak, aorta dan badan
karotis, serta semua tempat dalam sirkulasi
- pusat kortikal yang lebih tinggi
- serat aferen dalam nervus phrenikus
Ø Obstruksi Saluran Napas
Obstruksi
saluran napas dapat ditemukan pada setiap bagian mulai dari saluran napas
ekstratorakal hingga saluran napas kecil di perifer paru. Obstruksi saluran
napas ekstratorakal yang besar dapat terjadi akut seperti aspirasi makanan atau
benda asing atau angioedema glotis. Obstruksi saluran napas atas akut merupakan
keadaan emergensi. Obstruksi kronik dapat ditemukan tumor atau stenosis
fibrotik pasca trakeostomi atau pasca intubasi endotrakeal yang lama. Obstruksi
akut dan kronik memiliki gejala utama berupa dispnea dengan tanda khas yaitu
adanya stridor dan retraksi fosa supraklavikula saat inspirasi.
Obstruksi saluran
napas intratorakal dapat terjadi secara akut dan intermiten atau dapat dijumpai
secara kronik dan semakin parah jika terdapat infeksi. Obstruksi intermiten
akut dengan wheezing merupakan ciri khas serangan asma. Batuk kronik dengan
ekspektorasi merupakan ciri khas bronkhitis kronik dan bronkiektasis. Paling
sering ditemukan adalah ekspirasi memanjang serta suara ronkhi kasar, terdapat
menyeluruh pada bronchitis kronik, dan dapat terlokalisir pada bronkiektasis.
Infeksi mengakibatkan gejala batuk semakin bertambah parah, peningkatan
pengeluaran sputum yang purulen dan dispnea yang lebih berat. Selama
serangan ini, pasien dapat mengeluhkan paroksismal nokturnal dispnea dengan
wheezing yang akan berkurang dengan batuk dan pengeluaran sputum. Emfisema
ditandai oleh gejala dispnea d’effort selama bertahun-tahun yang kemudian
berkembang menjadi gejala dispnea saat istirahat. Meskipun berdasarkan
definisinya emfisema adalah penyakit parenkim paru, emfisema selalu disertai
dengan obstruksi saluran napas.
Ø Penyakit Paru Parenkimal Difus
Kelompok penyakit ini mencakup penyakit yang
berkisar dari pneumonia akut hingga kelainan kronik seperti sarkoidosis dan
berbagai bentuk pneumokoniosis. Riwayat penyakit, hasil pemeriksaan jasmani dan
kelainan radiologi memberikan petunjuk untuk menegakkan diagnosis. Pasien
sering terlihat takipnea dengan PCO2 dan PO2 arterial dibawah nilai normal.
Volume paru menurun dan paru-paru menjadi lebih kaku yaitu penurunan compliance
dibandingkan dengan paru-paru normal.
Ø Penyakit Vaskular Paru Oklusif
Dispnea
berulang saat istirahat sering terjadi akibat emboli paru yang berulang. Adanya
sumber emboli seperti phlebitis pada ekstremitas bagian bawah atau pelvis
sangat membantu dalam mendiagnosis. Pemeriksaan gas darah arteri umumnya
abnormal, tetapi volume paru seringkali normal atau hanya didapat kelainan
minimal.
Ø Penyakit Dinding Dada atau Otot Respirasi
Pemeriksaan
fisik dapat menegakkan keberadaan penyakit dinding dada seperti kifoskoliosis
berat, pectus ekskavatum dan spondilitis. Walaupun secara keseluruhan tiga
deformitas ini dapat disertai dengan gejala dispnea, hanya kifoskoliosis berat
yang selalu mengganggu respirasi dengan intensitas cukup berat hingga
terjadi cor pulmonale kronik dan gagal napas. Kelemahan dan paralisis otot-otot
pernapasan dapat menimbulkan dispnea dan gagal napas.
Ø Penyakit Jantung
Pada
penyakit jantung, dispnea d’effort terjadi sebagai akibat dari peningkatan
tekanan kapiler paru yang dapat disebabkan oleh penurunan compliance
ventrikel kiri dan stenosis mitral. Kenaikan tekanan hidrostatik pada pulmonary
vascular bed mengganggu keseimbangan Starling sehingga terjadi transudasi
cairan ke dalam rongga interstisial, mengurangi compliance paru dan
merangsang reseptor J (jukstakapilaris) dalam rongga interstisial alveoli. Jika
terjadi dalam jangka waktu lama, hipertensi vena paru akan mengakibatkan
penebalan dinding pembuluh darah kecil paru, meningkatkan sel perivaskular dan
jaringan ikat sehingga mengakibatkan penurunan compliance paru lebih
lanjut. Kompetisi antara pembuluh darah, saluran napas, dan peningkatan cairan
dalam ruang interstitial akan meningkatkan resistensi saluran napas. Penurunan compliance
dan peningkatan resistensi saluran napas meningkatkan kerja pernapasan. Pada
gagal jantung kongestif lanjut, umumnya melibatkan tekanan vena paru dan vena
sistemik, sehingga dapat timbul hidrotoraks yang akan memperberat dispnea. Pada
pasien dengan gagal jantung dan curah jantung yang sangat menurun, dispnea
dapat juga dikaitkan dengan kelelahan otot respirasi sebagai akibat perfusi yang
menurun
Ortopnea,
yaitu dispnea pada posisi berbaring, terjadi akibat perubahan gaya gravitasi
ketika pasien berbaring sehingga akan meningkatkan tekanan vena dan kapiler
paru. Ortopnea mengakibatkan redistribusi cairan dari abdomen dan ekstremitas
bawah ke toraks sehingga meningkatkan tekanan kapiler paru, dikombinasikan juga
dengan elevasi diafragma.
Paroksismal
nocturnal dyspnea, dikenal dengan asma kardiak, ditandai dengan
serangan sesak napas yang berat yang umumnya terjadi pada malam hari dan membangunkan
pasien dari tidur. Serangan tersebut dicetuskan oleh stimulus yang memperburuk
kongesti paru yang telah ada sebelumnya. Volume total darah menjadi lebih besar
di malam hari karena reabsorbsi edema dari ekstremitas ketika pasien berbaring.
Dua bentuk nokturnal
dispnea yang harus dibedakan dari gagal jantung adalah bronkitis kronik dan
asma. Bronkitis kronik dikarakterisasikan dengan hipersekresi mukus. Setelah
tidur beberapa jam, terjadi akumulasi sekret, timbul dispnea dan wheezing, dan
akan membaik dengan batuk dan pengeluaran sputum. Pasien asma dapat
membangunkan pasien dengan sensasi dispnea berat dan wheezing. Inhalasi
bronkodilator umumnya memperbaiki gejala dengan cepat.
Pada dispnea kardiak
dapat ditemukan riwayat infark miokard, suara jantung ketiga serta keempat dan
atau terdapat bukti yang menunjukkan pembesaran ventrikel kiri, distensi vena
jugularis leher serta edema perifer. Pada foto thoraks terdapat tanda gagal
jantung yang menunjukkan edema interstisial, redistribusi vaskuler pulmonalis
dan penumpukan cairan di daerah septal serta kavitas pleura. Ekokardiografi
terutama berguna untuk menegakkan diagnosis anatomi penyakit jantung yang dapat
menjadi penyebab terjadinya dispnea.
Ø Perbedaan antara Dispnea Kardiak dengan Dispnea
Pulmonal
Pada
sebagian besar pasien dispnea terbukti klinis adanya penyakit jantung atau pada
paru.. Seperti halnya dispnea kardiak, PPOK juga dapat terbangun di malam hari
karena sesak napas, tetapi gejala ini biasanya disertai dengan produksi sputum
dan gejala dispnea akan mereda setelah pasien berhasil mengeluarkan sputumnya.
Pada pasien dengan
etiologi dispnea yang tidak jelas, sebaiknya dilakukan tes faal paru karena tes
ini dapat membantu menentukan apakah dispnea tersebut ditimbulkan oleh penyakit
jantung, penyakit paru, kelainan dinding dada ataukah oleh kecemasan.
Pengukuran fraksi ejeksi pada saat istirahat dan sewaktu melakukan latihan
jasmani melalui pemeriksaan ekokardiografi atau radionukletida ventrikulography
amat membantu dalam menentukan etiologi. Fraksi ejeksi ventrikel kiri akan
menurun pada gagal ventrikel kiri, sedangkan pada penyakit paru yang berat
fraksi ejeksi ventrikel kanan dapat rendah pada saat istirahat atau menurun
sewaktu melakukan latihan jasmani. Pada dispnea akibat cemas atau malingering,
kedua fraksi ejeksi tersebut normal saat istirahat dan sewaktu melakukan
latihan jasmani. Observasi yang cermat selama tes treadmill membantu
mengidentifikasi pasien cemas dan malingering. Pada kedua keadaan ini, pasien
biasanya mengeluh sesak napas, tetapi tampak bernapas irregular atau tanpa
tenaga.
Pemeriksaan jantung
paru meliputi penilaian kapasitas fungsional maksimal exercise pasien saat
dilakukan pengukuran elektrokardiogram, tekanan darah, konsumsi oksigen,
saturasi arteri (oksimetri), dan ventilasi, membantu dalam membedakan dispnea
kardiak dan pulmonal.
Ø Tabel 2. Kelainan pada uji exercise jantung paru
Kelainan kardiovaskular
|
Kelainan respirasi
|
- denyut jantung > 85% prediksi maksimum
- ambang anaerobik
rendah
- penurunan
konsumsi oksigen maksimal
- penurunan tekanan
darah dengan latihan (exercise)
- aritmia atau
perubahan iskemi pada EKG
- tidak mencapai
ventilasi prediksi maksimal
- tidak memiliki
desaturasi bermakna
|
- tidak mencapai 85% denyut jantung prediksi
maksimal
- stabil atau peningkatan
rasio dead space terhadap volume tidal
- bronkospasme
dengan penurunan FEV1
- tidak ada
perubahan iskemik pada EKG
- mencapai /
melebihi prediksi ventilasi maksimal
- desaturasi
bermakna (<90%)
|
Ø Ansietas
Dispnea
yang dialami oleh seseorang dengan ansietas merupakan gejala yang sulit untuk
dievaluasi. Keluhan dan gejala hiperventilasi akut serta kronik tidak dapat
dipakai untuk membedakan antara ansietas dan proses lainnya. Situasi lain yang
dapat membingungkan terlihat ketika nyeri dada dan perubahan gambaran EKG
menyertai sindroma hiperventilasi. Jika ditemukan dan ada kaitannya dengan
kondisi ini, yang sering disebut astenia neurosirkulatorik, gejala nyeri dada
yang dikeluhkan acapkali terasa menusuk, berpindah-pindah di berbagai lokasi
dan perubahan gambaran EKG paling sering terlihat selama repolarisasi.
Respirasi yang sering disertai dengan tarikan napas panjang dan pola pernapasan
yang tidak beraturan merupakan petunjuk yang membantu penegakkan diagnosis.
Seringkali pola pernapasan tersebut akan kembali normal sewatu pasien tidur.
Cemas dan depresi yang berhubungan dengan penyakit paru atau jantung dapat
menambah berat gejala sesak napas.
·
EDEMA PARU
Edema paru terjadi
akibat adanya akumulasi cairan di paru-paru. Edema paru dapat diakibatkan oleh
kelainan pada jantung (edema paru kardiogenik) atau kelainan di luar jantung
(edema paru non kardiogenik)
Ø Mekanisme Edema Paru
Terdapat dua
mekanisme terjadinya edema paru :
1.Membran kapiler
alveoli
Edema paru terjadi
jika perpindahan cairan dari darah ke ruang interstitial atau ke alveoli
melampaui pengembalian cairan ke dalam darah dan aliran cairan ke sistem
pembuluh limfe. Dalam keadaan normal terjadi pertukaran cairan dari pembuluh
darah ke ruang interstitial.
2. Sistem limfe
Sistem limfe berperan
dalam pemindahan cairan dari ruang interstitial. Bila kapasitas saluran limfe
dilampaui, akan terjadi edema. Diperkirakan pada pasien dengan berat 70 kg pada
keadaan istirahat kapasitas sistem limfe kira-kira 20 ml/jam. Pada percobaan,
didapatkan kapasitas sistem limfe bisa mencapai 200 ml/jam pada orang dewasa
dengan ukuran rata-rata. Jika terjadi peningkatan tekanan atrium kiri kronik,
sistem limfe akan mengalami hipertrofi dan mempunyai kemampuan mentransportasi
filtrat kapiler dalam jumlah yang lebih besar sehingga dapat mencegah
terjadinya edema. Sedangkan bila terjadi peningkatan tekanan kapiler paru yang
tiba-tiba dapat berakibat fatal pada pasien yang tidak mengalami penambahan
aliran limfe sebelumnya.
Studi ekperimental
membuktikan bahwa mekanisme edema paru menerapkan pula hukum Starling.
Q (iv-int)
= Kf {(Piv – Pint) – σ t(IIiv
– IIint)}- Qlimf
Q =
kecepatan transudasi dari pembuluh darah ke ruang interstitial
Piv =
tekanan hidrostatik intravaskular
Pint =
tekanan hidrostatik interstitial
IIiv =
tekanan osmotik koloid intravaskular
IIint =
tekanan osmotik koloid interstitial
σ t =
koefesien refleksi protein / makromolekul
Kf =
konduktans hidrolik (berbanding lurus dengan area permukaan membran dan
berbanding terbalik dengan ketebalan membran)
Qlimf =
aliran limfe
Klasifikasi edema
paru berdasarkan mekanisme pencetus dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 1. Klasifikasi edema paru berdasarkan mekanisme pencetusnya
I. Gangguan
keseimbangan gaya Starling
|
II. Berubahnya
permeabilitas membran alveoli-kapiler (acute respiratory distress syndrome)
|
III. Insufisiensi
limfatik
|
IV. Tidak diketahui atau
hanya dipahami sebagian
|
Ø Edema Paru Kardiogenik
Peningkatan tekanan
vena paru yang akan menimbulkan kongesti pada pembuluh darah paru, sering
ditemukan pada sebagian besar kasus dispnea yang menyertai gagal jantung
kongestif. Paru menjadi kurang compliance, tahanan pada pembuluh napas
yang kecil meningkat, dan terdapat kenaikan aliran limfe yang berfungsi
mempertahankan volume cairan ektravaskular paru yang konstan. Pada keadaan ini
biasanya terdapat takipnea ringan. Bila keadaan ini berlanjut maka peningkatan
intravaskular akan mengakibatkan penumpukan cairan di ruangan ekstravaskular
sehingga timbul edema interstitial. Pada saat ini maka gejala memburuk,
takipneu meningkat, penurunan pertukaran gas lebih lanjut, dan terdapat
perubahan radiologi seperti garis Kerley B dan hilangnya batas vaskular yang jelas.
Pada stadium ini, taut antarsel endotel kapiler melebar dan dapat dilewati
makromolekul ke interstisium.
Kenaikan lebih lanjut
tekanan intravaskular mengakibatkan disrupsi hubungan antara sel-sel
lapisan alveoli, sehingga timbul edema alveoli dengan cairan yang mengandung
sel darah merah dan makro molekul. Dengan disrupsi membrana alveoli – kapiler
yang semakin hebat, cairan edematous akan menggenangi alveoli dan saluran
napas. Pada saat ini akan terjadi edema paru yang full blown, secara
klinis pasien tampak cemas dan mengeluarkan keringat dingin, sputumnya berbuih
dan mengandung bercak darah, terdengar ronki basah bilateral sedangkan pada
foto thoraks tampak gambaran paru yang berkabut dengan peningkatan densitas
pada hilus proksimal. Gangguan pertukaran gas semakin bertambah berat
dengan keadaan hipoksia yang memburuk. Tanpa penanganan yang efektif akan
terjadi asidemia progresif, hiperkapnia dan henti pernapasan. Urutan akumulasi
cairan yang diuraikan diatas mengkuti hukum Starling, dimana aliran limfe (Qlimf
) juga turut berperan dalam mengurangi edema yaitu mengikuti rumus akumulasi
cairan = Kf {(Piv – Pint) – σ t(IIiv
– IIint)}- Qlimf . 1,4
Ø Edema Paru NonKardiogenik
Beberapa keadaan
klinis yang disertai edema paru terjadi karena ketidakseimbangan gaya Starling
dan bukan terutama melalui peningkatan tekanan pulmonalis. Meskipun
berkurangnya tekanan onkotik plasma pada keadaan hipoalbuminemia (misalnya
penyakit hepar yang berat, sindroma nefrotik, protein losing enteropathy)
diperkirakan menimbulkan edema paru, namun keseimbangan berbagai tekanan
biasanya sangat mendukung resobsi cairan sehingga pada keadaan ini diperlukan
peningkatan tekanan kapiler sebelum terjadi edema interstisial. Peningkatan
negativitas tekanan interstisial terjadi pada edema paru unilateral sesudah
pengeluaran secara cepat pada pneumotoraks. Dalam situasi ini, temuan tersebut
mungkin hanya terlihat pada pemeriksaan radiografi, tetapi terkadang pasien
mengalami dispnea dengan kelainan jasmani yang terlokalisir pada paru yang
edema. Timbulnya tekanan intrapleura negatif yang besar selama serangan
asma berat yang akut dapat disertai dengan timbulnya edema interstisial.
Hambatan aliran cairan limfe yang terjadi sekunder akibat penyakit fibrotik dan
inflamatorik atau karsinomatosis limfangitik dapat menimbulkan edema
interstisial. Pada kasus semacam itu, baik manifestasi klinis maupun radiologik
didominasi oleh proses penyakit yang mendasarinya.
Keadaan lain yang
juga ditandai adanya peningkatan cairan interstisial di dalam paru namun
dimulai bukan dengan terjadinya gangguan keseimbangan tekanan kapiler ataupun
oleh perubahan dalam aliran cairan limfe, tetapi timbul karena adanya disrupsi
membran alveoli-kapiler. Keadaan ini timbul pada keadaan toksis karena faktor
lingkungan ataupun terjadi spontan, termasuk infeksi paru difus, aspirasi dan
syok. Edema paru yang terjadi difus dan tidak disebabkan karena hemodinamik.
Keadaan ini dapat menimbulkan acute respiratory distress syndrome
(ARDS).
Penyakit
Kanker adalah
suatu penyakit yang disebabkan oleh pertumbuhan sel-sel jaringan tubuh yang
tidak normal. Sel-sel penyakit kanker akan berkembang dengan cepat, tidak terkendali, dan
akan terus membelah diri, selanjutnya menyusup ke jaringan sekitarnya
(invasive) dan terus menyebar melalui jaringan ikat, darah, dan menyerang
organ-organ penting serta syaraf tulang belakang.
Dalam
keadaan normal, sel hanya akan membelah diri jika ada penggantian sel-sel yang
telah mati dan rusak. Sebaliknya sel penyakit kanker akan membelah terus meskipun tubuh tidak
memerlukannya, sehingga akan terjadi penumpukan sel baru yang disebut tumor
ganas. Penumpukan sel tersebut mendesak dan merusak jaringan normal, sehingga
mengganggu organ yang ditempatinya.
Penyakit kanker dapat terjadi diberbagai
jaringan dalam berbagai organ di setiap tubuh, mulai dari kaki sampai kepala.
Bila penyakit kanker terjadi di bagian permukaan tubuh, akan mudah
diketahui dan diobati. Namun bila terjadi didalam tubuh, penyakit kanker itu akan sulit diketahui dan kadang – kadang tidak
memiliki gejala. Kalaupun timbul gejala, biasanya sudah stadium lanjut sehingga
sulit diobati.